Sebuah Catatan Tentang Mas Amien

SEBUAH CATATAN TENTANG MAS AMIEN

8 MEI 2020.

Oleh: M. Sun’an Miskan.

Selamat Ulang Tahun Ke-76, Mas Amien Rais, dari sahabatmu sejak mahasiswa, M. Sun’an Miskan. Saya sampaikan berikut ini catatan harian saya tentang Anda dari buku: AMIEN RAIS (Inilah jalan hidup saya Autobiografi seperti apa yang dituturkan kepada Bagus Mustakim dan Nurhuda Kurniawan– Penerbit Insan Madani cetakan ke-I Juni 2010 ). Amien Rais (lahir 26 April 1944 ) adalah nama yang memiliki segudang catatan dalam sejarah sosial, agama, dan politik di negeri ini. Tidak ada satu masa pun dalam rentang kehidupan yang dilaluinya dilewatkan begitu saja tanpa memberikan peran yang maksimal untuk masyarakat, umat, dan bangsa ini. Dilahirkan di Solo dengan nama kecil Muhammad Amien dari keluarga yang memiliki tradisi keislaman sekaligus kemuhammadiyahan yang sangat kuat.

Setamat UGM, Amien melanjutkan pendidikannya pada University of Notre Dame, Indiana (1974). Studi doktoral di Political Science, University of Chicago, dengan bidang studi Timur Tengah tahun 1980 selesai dengan disertasi berjudul Moslem Brotherhood in Egypt: Its Rise, Demise, and Resurgence dengan penelitian di Mesir. Ia menyempatkan diri mengikuti kuliah di Universitas Al Azhar Mesir dengan menjadi mahasiswa luar biasa. Kesempatan yang diambilnya ini menjadi kebahagiaan tersendiri bagi orang tua Amin, khususnya sang ibu yang
telah lama memendam keinginan agar anaknya kuliah di Universitas Islam tertua tersebut. (hal IX ) Di samping dapat master dalam politik, ia juga dapat sertifikat dalam Marxisme, sehingga ia berseloroh
mungkin Marxisme saya lebih luas dari D.N. Aidit, karena bacaan saya lebih luas dan warna-warni. Kesulitan kuliahdi Notre Dame hanya menyangkut kemampuan telinga kita
untuk mencerna kuliah para dosen. Lima sampai enam bulan kuping saya betul-betul bolong untuk bisa mengikuti kuliah-kuliah dalam bahasa Inggris.

Di Chicago saya bergaul dengan beberapa profesor Yahudi, misalnya Prof Leonel Binder, Prof Marvin Zonis dll. Di Chicago sangat menarik karena semua aliran mazhab ilmu sosial itu dibuka oleh para dosen. Semuanya diminta apresiasi oleh para mahasiswa. Profesor-profesor itu tahu bahwa saya muslim tulen, tetap kalau paper saya bagus ya dapat A. Kegairahan saya untuk mendalami persamaan dan perbedaan tiga (Masyumi, Jamaah Islamy di Pakistan, dan Ikhwanul Mslimin di Mesir) mendorong saya sebaiknya pergi ke Mesir untuk mendalami sebab-musabab munculnya, kemerosotannya, dan kemudian fenomena kehadirannya kembali. Saya bertolak ke Kairo bersama istri saya bertemu berkenalan dengan tokoh-tokoh puncak Ikhwanul Muslimin ada Umar Timisany, Mustofa Masyhur, Jamal Yusuf budayawan Mesir, Abbas Sisi dan Dr Bahy.

Saya tidak punya dosen unggulan di Al Azhar. Kekaguman saya merata. Bagi saya kelebihan intelektual Mesir dengan Eropa mereka itu bisa memahami 2 atau 3 bahasa Eropa dengan sangat fasih dan gampang. Di Notre Dame sahabat saya dari Yaman yang kini rektor di Universitas San’a, pada waktu datang, bahasa Inggrisnya compang- camping. Tetapi pada semester ke-2, ia sudah melalap semua diskusi di kelas. Sahabat karib saya mahasiswa Indonesia di Kairo Fauzi (Rahimahullah), Abdul Khair, Saleh Abdad (Rahimahullah), Umar Thabi’iy. Di markas Ikhwan banyak yang menaruh curiga dengan saya karena dari AS. Pikiran saya sudah habis dicuci oleh demokrasi AS. Dicurigai juga agen CIA. Sampai ada yang berkata: Kalau Anda mau jadi imam shalat Magrib, kita akan menilai apa Anda seorang pelajar yang sedang menulis disertasi apa Anda mata-mata CIA. Setelah
mendengar bacaan saya yang lumayan bagus, dengan surat-surat terpilih yang mereka sukai, maka saya dipeluk dan hilanglah keraguan itu.

Karena saya terbiasa untuk berpikir yang gramatikal, sesuai dengan parama sastra dan lain-lain, hal itu justru jadi handicap dalam mengekspresikan bahsa ‘Amiyah itu.
Di Al Azhar tercatat sebagai mahasiswa luar biasa. Saya melakukan reading course atau kuliah reading dengan Ustd Sayid Ramadlon. Setiap kali saya membaca sebuah kitab saya bertemu dengan beliau, diskusi isi kitab, kemudian bahu saya ditepuk-tepuk sambil mengatakan Quwaisy…. Quwaisy atau bagus- bagus saya kemudian pulang. Dengan Dr Muhammad Bahy: “Kalau kamu ingin jadi aktivis muslim, kembali ke tanah airmu menjadi seorang yang ingin memperjuangkan nilai nilai Islam, paling tidak kamu harus bisa, mampu dan mau membaca Al-Qur’an sehari 1 juz. Kalau kurang dari itu, lebih baik kamu tidak
usah berpretensi atau pura-pura jadi mujahid Islam.”

Saya dan istri 3 (tiga) tahun di Chicago tetap merasa jadi orang asing. Betul-betul tidak merasa at home. Tapi begitu sampai di Kairo baru satu minggu betul-betul Mesir
itu seperti negeri nomor dua, seperti second country. Mungkin karena suara azan selalu didengungkan, suasana ketimuran mirip Indonesia, keramah-tamahan orang Mesir
tidak ada bedanya dengan orang Indonesia. Saya pulang dari Kairo ke Chicago dengan 2 (dua) anugerah. Anugerah kecil draf disertasi dan anugerah besar akan kelahiran anak saya di Chicago setelah kami menunggu sepuluh tahun. Waktu itu Hanafi dalam kandungan ibunya 8 bulan. Seperti di Al-Qur’an bahwa
perjalanan panjang itu banyak hikmahnya di Kairo haji bersama, di Chicago, ke Paris, ke Inggris, ke Belanda.

Catatan harian lainnya: Saya, sdr Sun’an, pertama kali kenal secara langsung dengan Mas Amien Rais saat Penataran Darul Arqom Tkt Nasional di Batu, Malang, Jatim, pasca-peristiwa Gestapo PKI 1965. Mas Amien Rais, Bpk Jindar Tamimy dll sebagai penatar dari pusat. Imam TC KH Bejo Dermolaksono ( Pengurus Tarjih ), Master Training : H.M.Anwar Zein ( Ketua PWM Jatim ). Mas Amien yang waktu itu sudah menyandang gelar B.A, memberi materi Marxisme dan Pak Jindar Tamimy memberi materi paham Agama dalam Muhammadiyah. Saya waktu itu mahasiswa tingkat III Fakultas Ilmu Agama dan Dakwah Univ Muhammadiyah Surabaya. Saya juga sebagai Wakil Sekretaris PDM Kodya Surabaya. Meskipun saya seumur Mas Amien (sama lahir thn 1944 ), tapi untuk mendapat B,A saya baru tahun 1968, karena sekolah menengah atas saya harus 7 tahun karena harus masuk di Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) Yogyakarta selama 3 tahun. Namun alhamdulillah, saya dapat ranking terbaik di penataran Darul Arqom tersebut.

Pertemuan-pertemuan berikutnya di IMM karena saya Wakil Ketua DPD IMM Jatim, seperti pada Munas IMM di Solo. Saat Mas Amien ke Kairo, saya sudah pulang ke Indonesia 1978. Sahabat karibnya di Kairo seperti saudara Soleh Abdad dan Umar Thabiiy adalah sahabat sahabat karib saya. Kami sama-sama aktif di Kelompok Study Islam di Kairo bersama sdr Ilyas Dawud (sdr Umdah), sdr Mat Rais, sdr Ali Yasak, mantan Ketua PWM Aceh dll. bergiat dalam penerjemahan buku. Makin sering bertemu setelah saya pindah ke Jakarta thn 1979, membantu di
hubungan luar Negeri khusunya Timur Tengah PP Muhammadiyah dan di kepengurusan Lembaga Dakwah Khusus PPM. Mas Amien sebagai pengurus PP Muhammadiyah kalau ke Jakarta saya termasuk yang melayani.
Termasuk turut membidani lahirnya PAN di Daerah Jakarta Pusat. Saat Mas Amin sebagai Ketum PP Muhammadiyah dan saya sebagai pengurus KBIH Aisyiyah DKI Jakrta ada masalah waiting – list (penundaan keberangkatan ) satu setengah kloter jamaah haji Aisyiyah tidak dapat diberangkatkan. Mas Amin Rais sebagai Ketum PP Muhammadiyah kita minta untuk menghadap ke Kedutaan
Saudi Arabia agar jamaah haji Aisyiyah di beri visa khusus. Apa kata Mas Amin Rais, oke kita berjuang di hadapan duta besar Saudi untuk Aisyiyah DKI. Tetapi harus Sdr Sun’an buat suratnya. Tangan saya otomatis
kerja di laptop, dengan cepat jadi surat permohonan dalam bahasa Arab. Apa komentar Mas Amin. bagus sekali bahasa Arabmu sdr Sun’an, singkat padat jelas.
Insya Allah lolos, kita dapat visa. Mas Amin Rais ini agak gusar terhadap keterampilan berbahasa Arab di Muhammadiyah ini. Ia kepingin sidang Tarjih itu berbahasa Arab seperti awal awal berdirinya, tidak berbahasa Indonesia. Juga supaya seperti Lembga fatwanya tetangga sebelah, walau Arab serabutan. Apalagi kalau bicara di forum Dunia Islam. Setelah duta membaca surat itu dan mujamalah( basa–basi ) di sana sini , apa kata Duta besar Saudi : “ Sdr Amien kalau surat ini saya loloskan, saya beri visa khusus untuk calon jamaah haji Aisyiyah, lalu bagaimana saya harus berhadapan dengan KBIH–KBIH lainnya. Jamaah mereka yang waiting –list juga minta diberangkatkan, sementara
kuota haji Indonesia itu sdh habis.
Meskipun terjadi weating list, jamaah haji Aisyiyah tidak ada yang berontak, karena mereka tahu Ketum PP Muhammadiyah, Mas Amin Rais sudah ikut berjuang mati–matian di hadapan Duta Besar Saudi Arabia, tetapi tidak berhasil.

Mas Amien Rais, saya dan teman teman karyawan PP Muhammadiyah kalau makan siang bersama sama cukup di rumah makan Padang di emperan di komplek kantor GPII jln Menteng Raya 45 sebelah kantor PP
Muhammadiyah. Selesai makan siang saya bicara : Mas Amin saya yang membayar, karena saya tuan rumahnya. Apa komentarnya : Ya tidak usahlah ada tuan rumah
segala . Ini saya yang harus bayar, barusan saja, saya dapat rizqi. Itulah yang sering saya ingat, kepada Mas Amin Rais merakyat dan suka memberi.

source :

https://klikmu.co/sebuah-catatan-tentang-mas-amien/

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama